Maria Th.Roslin S.Lana
“Kenapa tugas sekolah bertambah banyak pak? Bukankah ini hanya perpindahan tempat belajar?,” tanya Odil cukup tegas. “Terima kasih untuk pertanyaan yang kritis Odil, bapak juga tidak senang memberi tugas yang sangat banyak, bukan karena bapak malas memeriksanya, tapi ini semua karena kita tidak bisa bertatap muka untuk jangka waktu yang tidak ditentukan. Jadi kalian akan belajar mandiri melalui tugas-tugas yang diberikan. Jujur, bapak cemburu dengan tugas kalian, bapak harap wabah ini segera berakhir agar bapak bisa menghabiskan waktu lebih banyak dengan kalian untuk belajar, bukannya tugas”. Penjelasan singkat Bapak Ardus ditutup dengan tawa peserta didik kelas tujuh. “Masih ada lagi yang perlu ditanyakan?” Suara Pak guru menghentikan tawa di kelas serta diikuti hening.
“Tidak pak”, jawab teman sekelas Odil dengan tegas dan begitu jelas. Begitulah hari terakhir di kelas Matematika SMPN 13 Kota Kupang. Tugas betambah banyak, tatap muka dikurangi, tawa para peserta didik, gurauan santun guru, singkatnya sekolah akan berubah menjadi kantor, bukan tempat belajar lagi.
Teriknya matahari siang itu tak bisa mengalahkan rasa dibalik frasa “belajar di rumah”. Raut wajah setelah pengumuman dengan ide pokok “belajar di rumah” mampu menjelaskan definisi ‘manusia adalah subjek yang bebas’, Aristoteles. Senyum, canda, dan tawa adalah hal yang menemani Odil dan teman-temannya pulang ke rumah. Senyum mereka kemudian berganti pesan rindu yang melesat tajam lewat perpisahan sederhana di persimpangan jalan. “Semoga kita cepat bertemu di kelas lagi”, spontan kalimat itu keluar dari Odil. ‘hahahahahahaaa….’ Nadia dan Sonya pun hanya membalasnya dengan tawa bahagia seolah rindu itu cuman candaan. Inilah awal kisah seorang peserta didik berprestasi memperjuangkan masa depan dengan status belajar mandiri.
Piagam penghargaan dan piala sebagai cendramata dari Odil untuk sekolahnya dapat menjelaskan bahwa tugas sekolah bukanlah hal yang menantang. Tugas demi tugas ia kerjakan tepat waktu tanpa keluhan sedikitpun. Kecemasan orangtua Odil berbeda dengan orangtua lainnya. Mereka takut Odil menjadi orang yang tertutup dan tidak mampu mengasah kecerdasaan sosialnya. Kegelisahan mereka bertambah saat Odil lebih banyak menghabiskan waktu dengan handphone. Karena hanya itulah satu-satunya cara mereka menaklukan jarak. Banyaknya tugas membuat Odil memiliki sedikit waktu bersama keluarga. Odil sekarang berstatus peserta didik dan berteman handphone. Sekalipun handphone hanya sebagai media, tapi nyatanya dia bertatap muka dengan kecerdasaan buatan. Odil membantu Nadia dan Sonya menyelesaikan tugas sekolah lewat handphone. Kini rindu bukanlah candaan saja, itulah yang terlihat dari cara Nadia dan Sonya mengungkapkan rindu yang begitu lugas, “kapan kita bisa kumpul-kumpul?”.
Tugas demi tugas yang berdatangan bersamaan dengan keluhan dari peserta didik dan orangtuanya. Nadia dan Sonya pun kini lebih sering mencibir tugas sekolah daripada mendiskusikannya dengan Odil. “Kalo tau kayak gini, mendingan kita sekolah saja”, ungkap Sonya dengan lemas saat video call bersama Nadia dan Sonya. “Kayaknya Pak Ardus tidak bisa cemburu lagi”, tambah Sonya diikuti oleh tawa mereka. “Ayo buruan, tersisa beberapa nomor saja, biar kita bisa nyantai”, suara Odil memecah tawa mereka. Ajakan itu sangat menyiksa kesenangan mereka. “Tugas sekolah bisa membunuh”, begitulah cara Odil mengangkat bendera putih pada semangat guru mendidik anak melalui tugas sekolah. Serentak mata Nadia dan Sonya pun membesar, “Seorang Odil lho”, kata Nadia. “Tuhan, semoga wabah ini cepat berlalu sebelum kita bertambah gila”, doa spontan Sonya akhirnya membuat Odil mampu tertawa.
Dua minggu berlalu dengan tugas, sekolah yang dulu dibenci kini menjadi satu-satunya yang dirindukan oleh peserta didik. Orangtua dan anak-anak ingin segera mengakhiri keluhan mereka terhadap tugas, masuk sekolah adalah satu-satunya solusi. Ketika pelajar, guru, dan orangtua berdiri di puncak kejenuhan, para pejuang covid semakin lantang meneriakan slogan “di rumah saja”. Hal ini semakin dipersulit dengan warta hoax yang lebih cendrung menakuti daripada menyembuhkan. Kalangan medis mengklaim “Physical Distancing” adalah solusi dari pandemi Covid-19, sedangkan bagi kalangan akademisi, “tetap di rumah saja” adalah pandemi dalam dunia edukasi. Pada saat yang bersamaan, new normal semakin marak diperbincangkansebagai pemecah segala pandemic. Physical distancing perlu diseimbangkan dengan social-orientation, kurang lebih, itulah tujuan new normal.
Setelah genap satu bulan, kini rindu lebih sering menyerang pak Ardus. Setiap kali dia piket, kata rindu diekpresikannya dengan cara yang bervariasi, mulai dari kelakar, keluhan, sampai pada level diskusi ilmiah. “Ada rumor kalau kelas tanpa suara selama satu bulan itu pemali”, ungkap pak ardus dibarengi tawa. “Saya punya teori baru yang belum punya persamaan regresinya, lebih baik mengeluhkan kegaduhan kenakalan perta didik daripada mengeluhkan kelas yang hanya terisi kenangan, karena keluhan terakhir adalah ciri-ciri orang gila”, kali ini tawa mereka lebih nyaring dari sebelumnya. Rindu memang membuat orang menjadi egois. Siang itu, pak Ardus menguasai percakapan di depan meja piket. Tak ada yang mampu menjedah monolog pak Ardus. Semuanya sangat menikmati cara pak Ardus mengekspresikan keresahannya. Tetapi saya berani menjamin kalau kerinduaan guru Matematika itu lebih besar dari yang diekspresikannya. Kalian akan setuju dengan saya kalau saja kalian dapat melihat raut wajahnya ketika menutup gerbang sekolah.
Pada hari yang sama, dua jam sebelum sunset, Pak Ardus menerima pesan Whatsapp dari pesrta didik yang terakhir kali bertanya padanya. ‘Selamat sore pak, bagaimana kabarnya?’, isi oborolan dari kontak bernama Odil. Pak Ardus masih menatap handphone-nya selama lima menit, namun tak pertanyaan lanjutan. Pak Ardus cukup bingung, Odil biasanya menanyakan tentang tugas sekolah atau menceritakan pendapatnya tentang pelajaran atau buku apapun yang dia baca. Pak Ardus memutuskan untuk menelpon Odil sebagai cara keluar dari kebingungan. “Halo Odil, selamat sore, Puji Tuhan bapak baik-baik saja. Bagaimana kabar Odil?”, kata pak Ardus membuka percakapan setelah Odil menerima telpon. “Halo pak Ardus, syukurlah kalau begitu, Puji Tuhan, kami sekeluarga baik-baik saja pak”, jawab Odil. “Kayaknya ada sesuatu, soalnya baru pertama Odil puasa diskusi tentang mata pelajaran”, kata pak Ardus seolah tahu segalanya dilengkapi dengan sentuhan humor. “hahahahaaa, tidak kok pak, saya hanya ingat pak guru saja, makanya mau tanya kabar”, jawab Odil diikuti keheningan. Selebihnya percakapan mereka tak ada kaitan dengan sekolah atau apapun yang berkaitan dengan dunia pendidikan. Sore itu seorang guru dan peserta didik saling mengekspresikan kerinduan mereka.
“Pak, kapan sebenarnya kita bisa ke sekolah lagi? Pengen selfi pake seragam dengan latar belakang papan tulis soalnya, hahahaaa….”, Odil coba memulai percakapan lagi. Pertanyaan itu sangat jelas bukan berkaitan dengan kebutuhan informasi di era digital ini. Odil hanya ingin bertanya apakah aturan bisa bertoleransi dengan kejenuhannya. “Welcome back Odil, kalo yang suka matematika biasanya lebih cepat kangen papan tulis, hahahaa…” jawab pak Ardus yang sarat makna. Kedekatan peserta didik dan guru membuat mereka dapat saling memahami secara emosional. “Pak, apakah saya yang terlalu radikal atau fanatik sama pelajaran ? entalah, tapi kalau tidak ke sekolah itu rasanya aneh pak, tugas tanpa guru rasanya itu tidak lengkap”, Odil kali ini lebih polos berekspresi. “Ia Odil, itulah kenapa di Indonesia kita sebut bapak/ibu guru, bukannya pengajar. Kalo di mata dunia mereka hanya menyebut teacher, lebih dari itu, kita adalah keluarga yang lebih serius dengan buku, hahahaaa….” Tanpa sadar Pak Ardus sekarang mencurahkan kegelisahaan pada anak didik-nya. “Syukurlah pak, selama ini saya kira saya sedang berziarah dari gelar prestasi menuju prestise, hahahaaa…”. “Tetap jadi versi terbaik dirimu ya Odil, kita sekarang hanya bisa saling mendoakan, jarak ini bisa menguatkan kita, bukannya membuat kita jadi kenangan”, suara pak Ardus sangat tulus terdengar saat memotong tawa Odil. “Pak, tolong ajarin saya mengubah rumus matematika menjadi prosa, bapak terdengar sangat puitis sore ini”, Odil memecah keheningan singkat. “hahahahahaaaa…” keduanya kali ini terlihat kompak.
Magrib diiringi oleh obrolan jenaka mereka. Topiknya selalu tidak konsisten, yang stabil saat itu hanya kekompakan tertawa dan durasi menelpon yang direkam oleh android masing-masing. Di kota yang sama, kelas-kelas masih saja kosong, sekolah lebih cocok disebut kantor daripada tempat belajar, slogan “di rumah saja” bertarung dengan berbagai kerinduan, dan kaum medis yang terus bertarung melawan pandemi virus corona. Percakapan mereka kemudian harus berhenti saat bunyi alarm Doa Angelus didampingi suara adzan maghrib. “Pak, terima kasih pak”, suara Odil lebih nyaring terdengar dari suara lainnya saat itu. “Terima kasih juga Odil, Tuhan memberkati kita semua”, balas pak Ardus berselang beberapa detik merefleksikan arti terima kasih seorang anak.
Beri Komentar